Manadotempo Tomohon,
Aksi kontroversial yang dilakukan oleh salah satu Oknum anggota Dewan dari Partai Golkar, telah memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Dalam insiden yang mengejutkan, Anggota Dewan tersebut diduga merobek daftar hadir anggota Dewan, sebuah tindakan yang dinilai tidak hanya merendahkan institusi legislatif, tetapi juga melanggar hukum dan etika. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk “premanisme politik” yang mencoreng nama baik lembaga Dewan.
Direktur Eksekutif FORTRAN, Tanor, menegaskan bahwa tindakan tersebut bukan sekadar masalah sepele. “Ketika seseorang dilantik sebagai wakil rakyat, maka segala perbuatan dan tindakannya sudah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, termasuk Kode Etik Dewan. Pembatasan ini ada untuk menjaga martabat dan kehormatan Dewan yang terhormat,” tegas Tanor dalam pernyataannya.
Tanor menjelaskan bahwa ada dua pelanggaran besar yang terkandung dalam tindakan tersebut. Pertama, adalah pelanggaran terhadap kode etik Dewan. Setelah seorang anggota dilantik dan diambil sumpahnya, semua perilaku dan perbuatannya harus sejalan dengan aturan yang ada, termasuk Undang-Undang, Tata Tertib (Tatib), dan Kode Etik Dewan. “Kalaupun Tatib yang baru belum dibuat, Tatib yang lama tetap berlaku menurut ketentuan,” tambahnya.
Lebih jauh, Tanor menyoroti bahwa pelanggaran ini tidak hanya merusak citra lembaga, tetapi juga melanggar hukum. Absensi anggota Dewan dalam setiap sidang adalah dokumen negara yang memiliki fungsi krusial, yakni memastikan kehadiran anggota Dewan untuk menentukan apakah sidang dapat dilanjutkan atau tidak (quorum). Dengan merusak absensi tersebut, Polakitan diduga telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena membuat dokumen negara menjadi tidak berfungsi. “Perbuatan ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana yang serius dan patut dipersoalkan lebih lanjut,” tegas Tanor.
Tindakan merobek absen ini membawa dampak lebih dari sekadar kericuhan administrasi. Sidang Dewan yang sah bergantung pada kehadiran resmi anggota yang dibuktikan melalui absensi. Dengan merusak dokumen tersebut, tidak hanya proses demokrasi yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik terhadap integritas Dewan.
Tanor juga menambahkan bahwa aksi seperti ini harus disikapi serius. “Ini bukan hanya soal disiplin internal atau etika saja, tetapi sudah masuk ranah hukum pidana. Dewan harus segera mengambil tindakan tegas dan tidak boleh membiarkan kasus ini berlalu tanpa penanganan yang jelas,” lanjutnya.
Kasus ini telah menciptakan gejolak di kalangan masyarakat, terutama di Tomohon. Banyak pihak yang mendesak agar tindakan hukum segera diambil untuk memberi contoh kepada anggota Dewan lain bahwa pelanggaran hukum dan etika tidak bisa ditoleransi. Masyarakat yang selama ini berharap pada integritas wakil-wakil mereka di parlemen kini mempertanyakan apakah nilai-nilai tersebut masih dihormati.
Dengan berbagai pandangan yang muncul, peristiwa ini tidak hanya memperlihatkan sisi buruk dari perilaku oknum di parlemen, tetapi juga membuka mata masyarakat akan pentingnya menjaga integritas lembaga negara. Tanor menegaskan bahwa Dewan dan aparat penegak hukum harus bersama-sama menangani masalah ini, agar tidak ada ruang bagi perilaku yang mencederai kehormatan lembaga Dewan.
“Dewan bukanlah tempat untuk perilaku semena-mena. Setiap anggota Dewan, ketika dilantik, telah bersumpah untuk mematuhi hukum dan menjaga marwah lembaga. Ketika tindakan seperti ini terjadi, kita harus berani menyebutnya sebagai pelanggaran berat dan menindak tegas pelakunya,” pungkas Tanor. (***).