ManadoTEMPO — Tensi Politik Jelang Pelaksanaan Pilkada serentak 27 November 2024 kian memanas. Berbagai isu dan opini di goreng untuk melemahkan, menekan lawan. Bahkan menyeret organisasi agama terbesar di Sulut.
Banyak pihak prihatin dengan hal ini. Dimana sejumlah oknum masyarakat mulai mencampuradukan urusan politik dengan agama, termasuk organisasi agama.
Terkait kondisi ini, Salah satu tokoh Sulawesi Utara, Hendrik Kawilarang Luntungan (HKL) angkat bicara.
Dirinya mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Pengusaha asal Minahasa Utara ini menyampaikan , organisasi agama harusnya jangan dibuat seperti organisasi Parpol. Seolah-olah dijadikan organisasi atau geng yang menjurus ke pembelaan umat beragama.
Menurut HKL, seharusnya organisasi agama tidak diperlakukan seperti organisasi politik atau kelompok yang berpihak hanya pada satu kelompok masyarakat.
Ia menilai beberapa organisasi agama seolah dijadikan alat untuk menyuarakan pembelaan yang mengarah pada sektarianisme dan pemisahan umat beragama. “Mau Katolik, GMIM, GPIB, GPDI, atau GBI, semua itu adalah Kristen. Kristen itu artinya pengikut Kristus. Begitu pula, mau Kristen, Islam, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, dan lainnya, semuanya adalah umat manusia ciptaan Tuhan,” ujar HKL.
HKL mengungkapkan pendekatan seperti ini justru menjauhkan makna sejati dari ajaran agama yang seharusnya mengajarkan kasih, bukan kebencian. “Sayangnya, ketika pembelaan ini dilakukan malah menimbulkan kebencian dan caci maki yang sebetulnya adalah dosa. Hal ini sudah keluar dari konsep dasar beragama itu sendiri,” tambahnya.
HKL juga mengutip ayat dari 1 Korintus 3:6 yang berbunyi, “Paulus menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.”
Menurutnya, ayat ini mengandung pesan tentang pentingnya kerendahan hati dan kolaborasi dalam pelayanan. HKL menekankan meskipun manusia bisa berupaya dalam menanam dan menyiram benih iman, hanya Tuhan yang berkuasa memberikan pertumbuhan rohani. “Jika melihat konteks Kristen di Sulut, Paulus dan Apolos bisa disamakan dengan GMIM dan Katolik, di mana keduanya merupakan bagian dari umat yang sama,” ujarnya, merujuk pada pentingnya
persatuan dalam keberagaman agama.
Lebih lanjut, ia menambahkan dalam konteks Indonesia, persatuan antara umat beragama sangatlah penting sebagai sesama warga bangsa. “Jika kita berbicara dalam konteks bangsa, baik itu Kristen, Islam, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, dan lainnya adalah bagian dari bangsa yang sama dan harus saling menghargai,” tegasnya.
HKL berharap, masyarakat Sulut dapat bersikap bijaksana dalam menghadapi dinamika politik menjelang pilkada, serta tidak membawa-bawa organisasi agama dalam kontestasi politik. Menurutnya, langkah ini penting untuk menjaga harmoni sosial dan mencegah potensi konflik yang bisa saja muncul jika agama dijadikan alat politik.
Kondisi yang dinilai memprihatinkan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak, yang menilai integrasi nilai-nilai agama dalam masyarakat seharusnya dilakukan tanpa campur tangan politik. Harapannya, Sulut dapat menjadi contoh wilayah yang mampu memisahkan kepentingan agama dan politik demi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bersama.
(***)