DPP Desa Bersatu dan APKASI Berharap BULD DPD RI Harmonisasi Regulasi Pusat-Daerah Terkait Tata Kelola Pemdes

oleh -140 Dilihat
oleh
Stefanus B.A.N. Liow (Ketua BULD DPD RI, senator asal Sulawesi Utara)

 

JAKARTA, ManadoTEMPO — Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) memantau dan mengevaluasi rancangan peraturan daerah (ranperda) dan peraturan daerah (perda) yang mengatur tata kelola pemerintahan desa, sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Desa dalam rangka harmonisasi regulasi pusat-daerah.

Melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang menghadirikan sejumlah narasumber, BULD DPD RI menerima masukan tentang pelaksanaan UU Desa selama dua dekade terakhir yang mengalami reduksi dan distorsi, dimana tidak terjadi koherensi dan konsistensi, sehingga berdampak kontradiksi.

RDPU BULD DPD RI menghadirkan narasumber, yaitu Doktor Sutoro Eko Yunanto (pakar pemerintahan desa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa), Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Desa Bersatu (DB) Muhammad Asri Anas dan Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) APKASI Devi Suhartoni yang juga Bupati Musi Rawas Utara bersama Direktur Eksekutif APKASI Sarman Simanjorang.

Stefanus B.A.N. Liow (Ketua BULD DPD RI, senator asal Sulawesi Utara) dan Abdul Hamid (Wakil Ketua BULD DPD RI, senator asal Riau) saat memimpin RDPU BULD DPD RI di Ruang Rapat Mataram lantai 2 Gedung B DPD RI, Rabu (22 Januari 2025).

Ditegaskan Stefanus B.A.N. Liow, bahwa tugas BULD DPD RI untuk memantau dan mengevaluasi ranperda dan perda dilakukan dalam rangka harmonisasi regulasi pusat-daerah, yakni memastikan bahwa regulasi daerah telah sejalan dengan pusat juga sebaliknya regulasi pusat memperhatikan aspirasi dan kepentingan daerah, termasuk desa. Dalam tahun sidang ini, kata Senator Stefanus Liow, BULD DPD RI berfokus kepada ranperda dan perda yang mengatur tata kelola pemerintahan desa (Pemdes), berikut terkait masyarakat hukum adat.

Dalam kesempatan tersebut, Sutoro Eko Yunanto menyoroti pelaksanaan Undang-Undang (UU) Desa selama dua dekade terakhir yang mengalami reduksi dan distorsi.
“Dalam UU Desa, hanya satu hal dijalankan murni dan konsekuen, yaitu pemilihan kepala daerah. Sisanya amburadul,” Sutoro Eko Yunanto menyatakannya dalam RDPU BULD DPD RI. Ditambahkan olehnya, “UU Desa mengalami reduksi, distorsi, tidak terjadi koherensi, konsistensi. Supradesa memajukan tetapi melemahkan, membangun tetapi merusak.”

Sutoro menerangkan, reduksi dan distorsi pelaksanaan UU Desa terjadi karena UU Desa hanya dimaknai sebagai Dana Desa. “Akibatnya, pejabat desa cinta uang, bukan rakyat. Dana Desa menjadi program yang ditentukan dan ditarget Jakarta. Kematian UU Desa di situ. Suara pemangku desa membahana di Senayan tapi tidak direspon baik. Era sekarang beda dengan era tahun 2012-2013. Semangat era dulu ialah memuliakan desa.”

Baca juga:  Gubernur Olly Terima Anugerah DEN Kategori Provinsi Paling Aktif Melakukan Inisiatif Management /Konservasi Energi

Selain itu, UU Desa menggunakan asas rekognisi tetapi dilaksanakan dengan asas desentralisasi. Terlalu banyak delegasi pengaturan dalam peraturan daerah (perda)/peraturan bupati (perbup) yang justru menghilangkan semangat pengakuan. Terjadi jungkir balik. UU Desa diatur peraturan pemerintah, peraturan pemerintah diatur peraturan menteri, peraturan menteri diatur peraturan daerah (perda)/peraturan gubernur (pergub). “Dari rezim rekognisi ke rezim administrasi. Aturan rezim administrasi, atas nama kemajuan, justru merusak tatanan sosial dan kearifan lokal.”

Sutoro menilai, karena kuasa atas desa, desa dijadikan obyek. Sehingga, perkembangan desa tidak sesuai nilai dan semangat UU Desa. Desa dihadapkan dengan pasal, ayat, syarat, dan prosedur dalam regulasi. Perda/perbup dihadapkan dengan desa. Dana Desa diberikan kepada desa tidak atas dasar keadilan dan kepercayaan kepada desa. “Ungkapan bupati, otonomi berhenti di tangan saya. Tidak ada otonomi desa”, demikian tambahnya.

“Pendekatannya teknokratis. UU Desa diatur peraturan menteri, peraturan daerah, peraturan bupati. Semangatnya hanya pasal, ayat, syarat, dan prosedur dalam perda/perbup. Biasanya copy-paste,” ujarnya. “Jika asas rekognisi, salurannya langung dari pusat ke desa.”

Sutoro menjelaskan, kabupaten dan desa adalah organisme. Hubungan keduanya dalam bentang sejarah yang lama. Sayangnya, banyak kabupaten menganggap desa tidak sebagai organisme, tetapi dianggap sebagai pihak lain. Dalam hal kepentingan supradesa, kabupaten cenderung memperalat desa. Dalam hal kepentingan desa, kabupaten selalu membatasi dan menghambat desa, serta mengatur dan mengawasi desa.

Devi Suhartoni membenarkan pernyataan Sutoro. Karena itu, UU Desa membutuhkan penyempurnaan. Perumusan UU Desa jangan dipukul rata di daerah kepulauan dan daerah pegunungan. Suhartoni mencontohkan dalam pemerintahan desa terjadi tumpang tindih antara Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri. “Diharapkan BULD DPD RI mengharmonisasi legalization pusat-daerah terkait tata kelola desa (pemdes),” kata Suhartoni yang diiyakan juga Asri Anas.

Direktur Eksekutif APKASI Sarman Simanjorang menjelaskan pemerintahan desa yang mirip negara kecil karena kepala desa dipilih rakyat dan desa memiliki perangkat dan menyelenggarakan perencanaan dan anggaran. Maka, karena visi misi bupati harus selaras dengan visi misi kepala desa, dibutuhkan harmonisasi pelaksanaan teknis melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) desa yang sejalan dengan Musrenbang kabupaten.

Baca juga:  Relawan CSSR Uluindano Gelar Aksi Bersih-Bersih di Gunung Lokon: “Gunung Bukan Tempat Sampah”

Ketua Umum DPP Desa Bersatu Muhammad Asri Anas merekomendasikan harmonisasi kebijakan, karena diperlukan sinkronisasi antara program pemerintah pusat dengan kebutuhan desa, khususnya penggunaan Dana Desa. Kemudian, kata Asri yang pernah menjabat Anggota DPD RI/MPR RI selama dua periode tahun 200-2019 diperlukan ruang dialog pemerintah dengan perwakilan desa untuk memastikan kebijakan yang dibuat mencerminkan apsirasi masyarakat desa.

“Bicara desa tidak boleh sepenggal. Sulit menyelesaikan masalah desa dalam satu dasawarsa,” ucapnya. Apalagi jumlah desa 75.259 desa, termasuk perangkat desa. Kalau perspektifnya otonomi daerah, tidak ketemu. Maka kami tuntut revisi UU Desa. UU Desa perlu dievaluasi agar penataan desa efektif.”

Sejumlah Senator Anggota BULD DPD RI memberikan tanggapan seperti Abraham Liyanto (senator asal Nusa Tenggara Timur), Yance Samonsabra (senator asal Papua Barat), Mirah Midadan Fahmid (senator asal Nusa Tenggara Barat), Yashinta Sekarwangi Mega (senator asal Daerah Istimewa Yogyakarta), Ratu Tenny Leriva (senator asal Sumatera Selatan), Syarif Mbuinga (senator asal Gorontalo), dan Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik (senator asal Bali), Ismet Abdullah (Senator Kepri), Agustinus Kambuaya (Senator Papua Barat Daya), Anna Latuconsina (Senator Maluku).

Yance Samonsabra menyoroti pengelolaan Dana Desa yang kurang transparan dan akuntabel. Padahal, dulu dananya kecil tapi buktinya ada, dibanding kini yang dananya besar tapi buktinya tidak ada.

Mirah Midadan Fahmid mendorong penguatan BPD sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa agar terjadi checks and balances tata kelola pemerintahan desa.

Syarif Mbuinga mengingatkan untuk saatnya memiliki legasi, Desa kita majukan. Desa jangan dijadikan obyek. Kalau mencari kesalahan, pasti ketemu. Berganti rezim, topik yang sama terbawa terus.

(**/Desi)

# # # # # # # # # # #

No More Posts Available.

No more pages to load.