ManadoTEMPO- Tersiar kabar serangan wabah virus ASF (African Swine Fever) atau virus flu babi afrika di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meluas ke 7 kecamatan, menewaskan ratusan ekor Babi membuat peternak was-was.
Mengingat trauma serangan virus tahun tahun sebelumnya, begitu banyak peternak Babi gulung tikar dan harga daging babi pun terjun bebas hingga Titi terendah, 6 kg daging babi dihargai Rp100 ribu.
Tak heran peternak Babi asal Desa Rambunan, Kecamatan Sonder, Kabupaten Minahasa, Dolly Mait angkat bicara. Dia berharap ada langkah antisipasi pemerintah Sulut terhadap wabah di NTT.
“Kami sangat berharap pemerintah lakukan yang terbaik vor torang peternak Babi. Ada langkah antisipasi,” imbuh Mait juga anggota kelompok tani Rambunan.
Pada Maret 2024 lalu, Kementerian Pertanian RI bersama Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) dan didukung oleh Kementerian Pertanian, Pangan dan Pedesaan (MAFRA) Republik Korea, meluncurkan program Intervensi Biosekuriti Komunitas African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika (Community ASF Biosecurity Intervention/CABI) di Indonesia, namun area percontohan yang dimulai di provinsi Sulawesi Utarabhanya tiga desa.Tiga lokasi percontohan, yaitu Desa Pinabetengan, Desa Paslaten Satu, dan Desa Tiwoho di Sulawesi Utara.
“ASF merupakan penyakit hewan yang sangat menular pada babi domestik dan babi hutan, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi dan produksi yang signifikan. Virus ASF sangat resistan dan dapat bertahan lama dalam berbagai kondisi,” kata Nasrullah, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, di Jakarta.
Wabah ASF pertama pada babi domestik di Indonesia dilaporkan pada tahun 2019. Wabah ini mengancam industri peternakan babi, dan pemerintah Indonesia secara resmi menyatakannya melalui Keputusan Menteri Pertanian.
(redaksi)